F u n B l o g . . .

Jumat, 14 Januari 2011

Pasca Bencana Merapi


Pasca bencana merapi pemerintah provinsi bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah siap mulai rehabilitasi. Masa rehabilitasi akan berlangsung mulai Januari-April 2011. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng memperkirakan kerugian akibat erupsi Gunung Merapi di tiga wilayah di provinsi ini mencapai 479,32 miliar. Sejumlah sektor yang mengalami kerusakan akibat erupsi gunung berapi teraktif di dunia ini di antaranya kesehatan, pendidikan, pertanian, pemukiman, dan sebagainya.
Meski demikian, hingga saat ini masih terdapat ancaman lahar dingin material Merapi yang terjadi bersamaan dengan tingginya curah hujan di kawasan lereng gunung ini. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan ancaman banjir lahar masih akan terjadi hingga Februari 2011 mendatang.
Banjir lahar dingin yang terjadi beberapa waktu telah mengalir ketujuh sungai yang ada di lereng Merapi. Sebuah jembatan rusak akibat luapan banjir lahar dingin ini. Untuk mengantisipasi kerusakan serta dampak yang terjadi akibat banjir lahar dingin ini, pemerintah telah menyiagakan sejumlah alat berat. Setelah beberapa hari curah hujan yang tinggi, warga harus mewaspadai banjir lahar yang cukup besar.
Sementara itu di Magelang, aliran lahar dingin dari hulu Gunung Merapi ke sejumlah daerah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, semakin membahayakan keselamatan warga karena sungai yang ada tak mampu lagi mengalirkan lahar tersebut. Tepatnya hari senin (10/1/2011) aliran Sungai Putih di desa tersebut dipenuhi material dan meluap ke jalan di Dusun Salakan sehingga jalan tersebut menjadi aliran sungai hingga Dusun Gemampang sepanjang satu kilometer.
Banjir lahar dingin Gunung Merapi di Sungai Putih, Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Magelang, Minggu malam telah mengakibatkan jalan yang menghubungkan Kecamatan Muntilan-Ngluwar di desa tersebut berubah menjadi sungai yang mengalirkan lahar. Terjangan lahar Merapi itu juga menyebabkan 10 kendaraan roda empat, tiga di antaranya truk, terjebak dan tertimbun material lahar dingin di jalan tersebut.

Kembali ke daerah Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Tak pernah terpikirkan sebelumnya, kawasan lereng Merapi akan seramai sekarang. Keganasan erupsi Merapi, yang berlanjut dengan banjir lahar dingin, seakan tertutupi hiruk-pikuk wisatawan dan lalu lalang kendaraan di semua ruas jalan desa yang menyaksikan dampak kedahsyatan letusan Merapi akhir November dan awal Desember lalu. Termasuk saya dan keluarga yang penasaran dengan keadaan di sekitar merapipun ikut berkunjung kesana.
Tiga dusun tertinggi yang dekat dengan puncak Gunung Merapi, yakni Dusun Kinahrejo (Desa Umbulharjo), Kaliadem (Kepuharjo), dan Kalitengah Lor (Glahagarjo), kini menjadi daerah tujuan wisata paling favorit. Kawasan bencana berubah menjadi kawasan wisata. Kinahrejo, daya tarik utamanya adalah rumah almarhum Mbah Maridjan. Meski tinggal puing-puing belaka, bekas rumah juru kunci Merapi ini menjadi salah satu tempat berfoto yang paling dituju wisatawan.

Pencemaran Air Oleh Sianida

Tepatnya setahun yang lalu, air PDAM sebagai sumber air bersih masyarakat kota Palu di kawasan penambangan emas Poboya, Kota Palu, Sulawesi Tengah, diduga tercemar sianida dan zat kimia berbahaya lain. Pencemaran air tersebut telah jauh dari ambang batas yang diperbolehkan, yakni 0,001 part per million (ppm) untuk air minum. Pencemaran itu diduga dari penggunaan sianida dan merkuri di areal pertambangan emas yang kian merajalela. Pemerintah Kota Palu didesak melakukan penertiban dan moratorium untuk menyusun tata kelola pertambangan yang ramah lingkungan.
Ternyata Selama ini limbah pengolahan emas dibuang di lembah terbuka yang dipenuhi tanaman kaktus.Data Pemerintah Kota Palu dan Kepolisian Daerah Sulteng menunjukkan, saat ini terdapat lebih dari 11.000 tromol dan sekitar 400 tong di Poboya dan sekitarnya.Tromol dan tong adalah peralatan untuk memisahkan butiran emas dari pasir, tanah, dan bebatuan. Dalam operasionalnya, tromol menggunakan merkuri. Adapun tong menggunakan sianida.
Jumlah penambang, baik warga lokal maupun pendatang, mencapai 10.000 orang.     Umumnya pendatang berasal dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulteng, dan daerah lain di Sulteng. Areal yang ditambang sekitar 10 hektar.Ketika dilakukan penelitian oleh Tim Peneliti Asosiasi Pertambagan Emas Rakyat Indonesia (Asperi) Sulteng, diperoleh;
KANDUNGAN BAHAN KIMIA PADA OBYEK PENELITIAN
Obyek Penelitian Kandungan Konsentrasi
Air PDAM Bak Kotor Merkuri 0,005 ppm
Air PDAM Bak Bersih Merkuri 0,004 ppm
Tanah Permukiman sekitar tambang Merkuri 0,596 ppm
Air Sungai Poboya Hilir-Hulu Merkuri 0,005-0,060 ppm
Sedimen Sungai Poboya Hilir-Hulu Merkuri 0,004-0,580 ppm
Limbah Cair di Area Tromol Merkuri 0,005-0,040 ppm
Limbah Padat di Area Tromol Merkuri 0,808-0,882 ppm
Udara di atas Tong Sulfat 934,73 ug/Nm3
Nitrit 50,47 ug/Nm3
Asam Sianida Tidak Terdeteksi
Karbon Dioksida 3120 ug/Nm3
Keadaan ini sangat mengancam kehidupan warga kota Palu, sepertinya walaupun sudah ada undang-undang mengenai Pertambangan yang tidak memperbolehkannya aktivitas di sekitar permukiman dan bantaran sungai, termasuk penggunaan sianida, tidak diindahkan.Pemerintah setempat mengakui, air di sekitar Poboya kemungkinan besar sudah tercemar sianida. Namun, tidak mudah untuk menghentikan aktivitas penambangan karena biasa menimbulkan reaksi tidak diinginkan. Selanjutnya upaya yang di tempuh adalah merelokasi pengolahan emas dan memusatkan di Palu Timur.
Bahaya jika mengonsumsi air yang tercemar merkuri jika konsentrasinya cukup tinggi bisa langsung mematikan, tetapi Merkuri tidak bereaksi secepat arsenic (As) atau asam sianida (HCn), yang langsung mematikan. Proses Merkuri sangat panjang dan berbahaya saat terakumulasi dalam jumlah banyak. Merkuri untuk akumulasi jangka panjang, merkuri bisa menimbulkan gangguan kesehatan seperti merusak ginjal, mengakibatkan kelumpuhan dan lain sebagainya.

Membangun Kota Ramah Air

            Selama ini tata kota kita kurang menghargai kesinambungan jalannya air. Danau (situ), sungai, dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, dan hajat. Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ (tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai) justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah!

Tidak seperti negara – Negara yang lain, air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat mulia dan bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota.
Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai, maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air.

              Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah). Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.
Contohnya kota Jakarta yang terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air sungai dan situ menurun dan tak lama lagi mengering. Air limbah rumah tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma begitu saja melewati saluran air langsung ke sungai dan laut. Air tidak sempat ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa, dan hutan mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang tak berkelanjutan.
.
               Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan.
Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis (kecil ke besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih, dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus digiatkan.
Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk memperbanyak serapan air ke dalam tanah dan mengurangi air yang dibuang ke sungai (ekodrainase). Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.
Bantaran sungai (dan juga bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang) dapat dikembangkan sebagai taman penghubung antar-ruang kota. Warga dapat berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian (kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai. Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Jakarta.

               Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat menggelar acara rekreasi bersama keluarga atau teman di tepi sungai setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk koperasi masyarakat cinta Sungai Ciliwung. Berbagai perhelatan turisme seperti Festival Sungai Ciliwung digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota.
Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, pemerintah kota harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.

               Kelak bantaran Sungai Ciliwung pun indah, bersih, tertata rapi, meredam banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air, transportasi ramah lingkungan).
Semoga dengan perubahan ini dapat mengubah keseluruhan hunian kota Jakarta yang berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai) ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota tepian air.