F u n B l o g . . .

Jumat, 14 Januari 2011

Membangun Kota Ramah Air

            Selama ini tata kota kita kurang menghargai kesinambungan jalannya air. Danau (situ), sungai, dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, dan hajat. Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ (tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai) justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah!

Tidak seperti negara – Negara yang lain, air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat mulia dan bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota.
Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai, maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air.

              Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah). Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.
Contohnya kota Jakarta yang terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air sungai dan situ menurun dan tak lama lagi mengering. Air limbah rumah tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma begitu saja melewati saluran air langsung ke sungai dan laut. Air tidak sempat ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa, dan hutan mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang tak berkelanjutan.
.
               Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan.
Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis (kecil ke besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih, dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus digiatkan.
Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk memperbanyak serapan air ke dalam tanah dan mengurangi air yang dibuang ke sungai (ekodrainase). Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.
Bantaran sungai (dan juga bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang) dapat dikembangkan sebagai taman penghubung antar-ruang kota. Warga dapat berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian (kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai. Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Jakarta.

               Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat menggelar acara rekreasi bersama keluarga atau teman di tepi sungai setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk koperasi masyarakat cinta Sungai Ciliwung. Berbagai perhelatan turisme seperti Festival Sungai Ciliwung digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota.
Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, pemerintah kota harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.

               Kelak bantaran Sungai Ciliwung pun indah, bersih, tertata rapi, meredam banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air, transportasi ramah lingkungan).
Semoga dengan perubahan ini dapat mengubah keseluruhan hunian kota Jakarta yang berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai) ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota tepian air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar